Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Hukum menghina syariat islam dan ancaman bagi yang melakukannya


ANCAMAN BAGI MEREKA YANG MENCELA/MENGHINA & MENGOLOK-OLOK SYARI'AT ALLAH (JENGGOT, CELANA TIDAK ISBAL, CADAR, DLL)

(Bagi yang belum mampu melaksanakan sunnah Nabi ﷺ tersebut agar berusaha & tidak kemudian antipati/melecehkan orang lain)

Disampaikan oleh:

Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba'abduh hafizhohullah

Kajian Ilmiyah Masjid Raya Al Akbar, Sorong - Papua Barat | Sabtu & Ahad, 18-19 Al-Muharram 1437H ~ 31 Oktober -01 Nopember 2015 M. 

Silahkan dengarkan melalui channel telegram dengan mengklik link berikut : 


Cara dzikir setelah sholat fardhu sesuai sunnah


Sehabis Sholat Dzuhur di Masjid Al-Anshar, Syaikh Badr-hafidzahullah - memberi tanbih tentang tatacara menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil. 

✋ Beliau mencontohkan bahwa yang sunnah dan datang dari petunjuk Rasulullah ﷺ adalah :

🔻 Dengan aqd (dhom) menghitung dengan jari dengan cara menekuk jari kedalam..

❌ BUKAN dengan ruas jari-jari, Wallohu a'lam mungkin karena tadi beliau melihat sebagian ikhwah dalam berdzikir dengan menghitung ruas jari.

_______________________
👍JAWABAN DARI PERTANYAAN

Tadi siang ana sudah menemui langsung Asy-Syaikh Badr dan bertanya tentang Cara Berdzikir setelah sholat. Beliau hafizhohulloh menjawab:

☝️"Dengan tangan KANAN mulai cara menghitung dengan menekukkan jari kelingking (paling kecil) sampai jempol kemudian langsung dilanjutkan dengan membuka jempol sampai jari kelingking, begitu seterusnya."

⚠️NB:Tadi setelah sholat Ashar beliau langsung kultum menerangkan kembali tentang hal di atas dengan membawakan hujjah, dalil, atsar dan penjelasan dari ulama.

Dikutip dari WA Daarul Atsar & WA Salafy Purwakarta | 

...............................
Lihat juga video contoh cara berdzikir dengan jari (Durasi Video 00:38)


Sumber : Channel Telegram ForumBerbagiFaidah ( 12 Nopember 2015 )

Menghadapi fitnah dalam Islam - Seputar fiqih tentang fitnah



الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه. وبعد :

Telah datang dalam Hadits dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda :

"إِن السَّعِيْد لَمَن جُنِّب الْفِتَن، إِن السَّعِيْد لَمَن جُنِّب الْفِتَن، إِن السَّعِيْد لَمَن جُنِّب الْفِتَن -يُرَدِّدُهَا ثَلاث مَرَّات- وَلِمَن ابْتَلَى فَصَبْر فَوَاهاً".

“Orang yang paling bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. Orang yang paling bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. Orang yang paling bahagia adalah orang yang dijauhkan dari berbagai fitnah. (Beliau ﷺ mengulanginya 3x) Barangsiapa yang diuji dengan berbagai fitnah dan dia bersabar maka sungguh mengagumkan.”

Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya :

Pertama : Wajibnya menjauhi fitnah-fitnah, dan makna ini dikuatkan dari hadits selain ini yakni :

"تعوذوا بالله من الفتن"

"Berlindunglah kalian kepada Allah dari fitnah-fitnah"

Kedua : Bahwa dijauhkannya seseorang dari berbagai fitnah adalah termasuk dari kebahagiaan.

Ketiga : Bahwa hadits ini terkait akan keumuman fitnah yang belum jelas akan kebenaran dari kebathilan.

Keempat : Tidak mencari fitnah-fitnah demi untuk mendapatkan pahala dari ujian, dijelaskan alasan ini dari sebuah riwayat hadits ketika Jubair bin Nufair رحمه الله berkata :

Al Miqdad bin Al Aswad رضي الله عنه datang kepada kami untuk keperluan, lalu kami berkata kepadanya : "Silahkan duduk sehingga kami memenuhi permintaanmu". kemudian ia duduk, lalu beliau berkata :

"Sungguh aneh kaum yang aku lalui, mereka mengharapkan fitnah, mereka menyangka bahwa mereka akan mendapatkan cobaan seperti yang diberikan Allah pada Rasulullah dan para sahabatnya, padahal aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: (Artinya) “Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah (3x)” kemudian beliau melanjutkan haditsnya..

Kelima : Bolehnya mengulang-ulangi kalimat untuk menekankan. (Rasulullah mengulangi perkataannya ان السعيد لمن جنب الفتن sampai 3x)

Keenam : Keutamaan sabar dan hasilnya yang baik.

Ketujuh : Berlindung kepada Allah terutama ketika terjadi fitnah, karena Allah yang menjauhkan hamba dari fitnah-fitnah.

Kedelapan : Merupakan perkara yang mengagumkan terhadap orang yang diselamatkan dari berbagai fitnah. 

Itu karena banyaknya orang-orang yang binasa dan sedikitnya orang-orang yang selamat, dan kekaguman ini ditunjukkan perkataan Rasulullah ﷺ dalam sabdanya :

"فواها"

'Mengagumkan'.

FAEDAH : Tidaklah semua fitnah itu dijauhi, hanyalah fitnah yang dijauhi tersebut adalah yang perkaranya belum diketahui yang haq dari yang bathil.

Adapun fitnah-fitnah yang telah jelas dan terang yang diketahui padanya yang haq dari yang bathil maka wajib padanya menolong al haq dan membantah yang bathil. Berkata Asy-Syaikh 'Abdul Aziz bin Bàz rahimahullah :

"Bahwa hadits-hadits tentang fitnah dan tahdzir (peringatan) dari bahayanya menurut ahli ilmu dibawa maknanya kepada fitnah yang BELUM DIKETAHUI padanya siapa yang di atas al-Haq dan siapa yang di atas kebatilan. Fitnah seperti ini yang disyariatkan untuk setiap mukmin adalah waspada darinya.

Fitnah inilah yang dimaksud oleh Nabi ﷺ dalam sabdanya,

“Yang duduk padanya lebih baik daripada yang berdiri. Yang berdiri padanya lebih baik daripada yang berjalan. Yang berjalan lebih baik daripada yang berlari.” (Al Hadits)

Adapun fitnah, yang DIKETAHUI padanya siapa yang di atas al-Haq dan siapa yang di atas kebatilan, diketahui siapa yang zhalim dan siapa yang terzhalimi maka itu TIDAK TERMASUK dalam hadits-hadits tersebut.

Bahkan dalil syar’i dari al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan WAJIB MEMBELA pihak yang di atas al-Haq dan terzhalimi terhadap pihak yang memusuhi dan menzhalimi.”

[Majmù Al Fatàwà wal Maqalàt 7/363]

Wallàhu a'lam.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد و على آله و صحبه.

Selasa pagi 28 Muharram 1437/ 10 November 2015 ditulis oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ghalib Al 'Umariy حفظه الله

Suci dari haidh setelah masuk waktu shalat shubuh : apakah wajib berpuasa di hari itu ?

Seorang mengajukan penanya mengajukan pertanyaan 

" Apabila seorang wanita telah suci (selesai haid) setelah masuk waktu shalat shubuh secara langsung, apakah ia harus menahan diri dan langsung berpuasa pada hari tersebut? Dan apakah hari tersebut terhitung sebagai hari dia berpuasa atau ia wajib mengqadha hari tersebut?

Asy Syaikh Shalih Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab,

"Apabila seorang wanita suci setelah terbit fajar, maka ada dua pendapat para ulama tentang puasanya pada hari tersebut:

Pendapat pertama:

Sesungguhnya diharuskan baginya untuk berpuasa pada sisa hari tersebut akan tetapi tidak terhitung sebagai hari puasa untuknya bahkan ia tetap wajib qadha. Ini pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua:

Ia tidak diharuskan untuk berpuasa pada sisa hari tersebut, karena pada hari tersebut tidak akan sah puasanya disebabkan pada awal harinya (waktu awal masuk puasa) dia dalam kondisi masih haid maka dia tidak terhitung orang yang berpuasa.

Apabila tidak sah (sejak awal) maka tidak ada faidahnya dia berpuasa pada sisa waktu di hari tersebut. Sisa waktu pada hari tersebut bukanlah waktu muhtaram¹ baginya karena ia diperintahkan untuk berbuka, bahkan ia diharamkan berpuasa pada awal waktu (setelah suci dari haid).

Perlu diketahui, puasa secara syar'i adalah:

الإمساك عن المفطرات تعبدًا لله من طلوع الفجر إلى غروب الشمس

"Menahan diri dari berbagai pembatal puasa dalam rangka beribadah kepada Allah dimulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari."

Dan pendapat kedua ini sebagaimana yang engkau lihat lebih rajih (tepat) daripada pendapat yang mengatakan harusnya berpuasa.

Dan berdasarkan kedua pendapat ini, ia tetap harus mengqadha hari tersebut.

_____________

Catatan :

¹ Muhtaram maknanya dimuliakan. Waktu tersebut dimuliakan namun tidak melazimkan dia untuk berpuasa pada sisa harinya sebagai bentuk pemuliaannya. Karena secara syar'i dia bukan termasuk orang yang berpuasa.

Disadur dari :

60 سؤال وجواب في أحكام الحيض

60 Tanya Jawab Dalam Hukum-hukum Haid, Ibnu Utsaimin, Hal 119

Pembagian najis dan contohnya


Pada artikel ini kita akan membahas pembagian najis.

Najis, ditinjau dari sebab kenajisannya terbagi menjadi dua:
  1. Hukmiyyah (berdasarkan hukum) حُكميَّة
  2. 'Ainiyah (berdasarkan dzat) عينيَّة
Najis Hukmiyyah adalah najis yang menimpa pada benda suci kemudian membuat benda suci tersebut menjadi najis. Contohnya seperti pakaian yang terciprat air kencing.

Adapun Najis ‘Ainiyah adalah najis disebabkan dzatnya sehingga tidak mungkin bisa disucikan walaupun dicuci dengan air samudra. Contohnya: babi dan anjing.

Adapun pembagian najis dari sisi ringan dan beratnya terbagi menjadi 3:
  1. Najis Mughalladzah (berat) مغلَّظة
  2. Najis Mutawassithah (sedang) متوسِّطة
  3. Najis Mukhaffafah (ringan) مُخفَّفة
Demikian pembagian najis yang bisa kami sajikan pada artikel ini. Semoga Allah mudahkan untuk melanjutkan pembahasan tatacara membersihkan dari masing-masing najis di atas.

Disadur dari:

Kitab As Syarhul Mumti' Karya Al Utsaimin Jilid 1 hal. 414

Makna thaharah dalam islam secara hissiyah


Ulama menjelaskan makna thaharah 
hissiyah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan khabats (najis).

Sebelum membahas bagaimana cara mengangkat hadats kita harus paham terlebih dahulu apa itu hadats?

والحَدَثُ: وصفٌ قائمٌ بالبدن يمنع من الصَّلاة ونحوها مما تُشْتَرَطُ له الطَّهارةُ.

"Secara umum hadats adalah sifat yang terdapat pada badan yang dapat mencegah dari shalat dan ibadah lainnya yang mempersyaratkan bersuci terlebih dahulu."

Hadats terbagi menjadi dua:

1. Hadats Ashgar (kecil)

Hadats ashgar adalah sifat yang terdapat pada anggota wudhu yang dapat mencegah dari shalat. Hadats ini bisa disucikan dengan wudhu.

Contoh penyebab hadats kecil adalah BAK dan BAB

2. Hadats Akbar (besar)

Hadats akbar adalah sifat yang terdapat pada seluruh badan yang dapat mencegah dari shalat. Hadats ini bisa disucikan dengan mandi, menyiramkan air pada seluruh anggota badan.

Contoh penyebab hadats besar adalah jimak dan mimpi basah.

Kesimpulannya cara membersihkan hadats ada dua, yaitu dengan wudhu dan mandi. Hadats kecil cukup dengan wudhu. Adapun hadats besar harus dengan mandi.

Sehingga dari makna thaharah hissiyah tersisa pembahasan menghilangkan khabats.

Berikut ini penjelasan tentang makna Khabats dan cara menghilangkan Khabats.

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna Khabats adalah benda najis (النجاسة).

والنجاسة: كل عين يحرم تناولها؛ لا لحرمتها؛ ولا لاستقذارها؛ ولا لضرر ببدن أو عقل.

"Benda najis adalah seluruh benda yang haram disentuh, bukan karena haram dimakan atau karena menjijikan dan bukan pula karena dapat menimbulkan madharat pada badan dan akal (tapi karena syariat menjadikannya benda najis)."
  • Terbukti, ada benda haram dimakan tapi tidak najis seperti racun. Ada juga benda kotor tapi tidak najis seperti contohnya kotoran unggas.
  • Makna mudahnya Khabats adalah semua benda yang diwajibkan bersuci darinya. Sehingga makna menghilangkan khabats adalah bersuci dari benda najis.
  • Adapun cara menghilangkan khabats atau najis sangat beragam caranya. Secara umum najis bisa hilang dengan air dan tanah.
Semoga bermanfaat.

Disadur dari:
Kitab As Syarhul Mumti' Karya Al Utsaimin Jilid 1 hal. 26-27

Definisi thaharah menurut bahasa dan istilah


Thaharah diartikan dalam bahasa kita dengan bersuci. Kata thaharah dalam bahasa Arab bermakna النظافة (An Nadzofah) yaitu 
bersih.

Adapun makna thaharah dalam istilah syar'i memiliki 2 makna:

Pertama, makna asal yaitu,

طهارة القلب من الشِّرك في عبادة الله، والغِلِّ والبغضاء لعباد الله المؤمنين

"Membersihkan hati dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah. Membersihkan dendam dan benci terhadap hamba-hamba Allah dari kalangan Mukminin."

Thaharah dengan definisi ini lebih penting dari thaharah dengan definisi yang kedua, bahkan tidak mungkin tegak thaharah badan dengan tetap adanya najisnya syirik.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ﴾ [التوبة ٢٨].

"Sesungguhnya orang-orang Musyrik itu najis." (Q.S. At-Taubah: 28)

Berkata As Sa'di : "yaitu buruknya akidah dan amalan-amalan mereka."

Nabi ﷺ bersabda :

«إنَّ المُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ»

"Sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis." (H.R Bukhori dan Muslim)

Kedua, makna cabang, yaitu:


الطَّهارة الحسِّيَّةُ

Thaharah (kebersihan) hissiyyah¹

Thaharah dengan definisi kedua inilah yang akan dibahas pada materi fikih.

____________________
¹ Thaharah hissiyyah adalah mengangkat hadats dan menghilangkan najis.

Disadur dari:
Kitab As Syarhul Mumti' 1/26 Karya Syaikh Al Utsaimin.

Definisi fiqih dalam Al Qur-an dan Sunnah


Seorang Muslim pasti sering mendengar kata Fikih atau Fiqih. Sudahkah kita mengetahui definisi Fikih?

Diantara cabang ilmu dalam islam yang wajib kita pelajari adalah ilmu fiqih, yang mana dengan ilmu inilah ia dapat mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pada pembahasan kali ini kita akan mengenal bersama definisi ilmu fiqih.

Definisi Fikih bisa ditinjau dari 3 sisi: sisi bahasa, syar'i dan istilah.

Pertama, Fikih secara bahasa adalah الفهم /Al Fahmu (pemahaman).

Hal ini sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala:

وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ

"akan tetapi kalian tidak memahami tatacara tasbihnya mareka". [QS. Al Isra: 44]

Asal kata tafqahuuna pada ayat di atas berasal dari kata masdar fiqhun dan diartikan dengan memahami.

Kedua, fikih menurut syar'i adalah:


مَعرِفَةُ أحْكَام الله العَقَدِيَّة والعَمَلِيَّة

"mengetahui hukum-hukum Allah dalam masalah akidah dan amaliyah".

Dari definisi menurut syar’i kita mendapat faedah bahwa kata fikih tidaklah terbatas pada permasalahan amaliyah saja. Akan tetapi mencakup seluruh agama termasuk permasalahan Aqidah.

Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa Aqidah adalah Fiqhul Akbar (pengetahuan yang paling besar).

Ketiga , fikih secara istilah adalah:


مَعرِفَةُ الأَحكَام العَمَليَّة بأدلتها التفصيلِيَّة

"mengetahui hukum ibadah amaliyah berdasarkan dalil yang terperinci"

Kata Fikih dengan definisi yang ketiga inilah yang paling sering didengar kaum muslimin.

Demikian pula, untuk pembahasan fikih berikutnya berdasarkan definisi yang ketiga ini. In syaa Allah...

[Disadur dari Kitab Syarhul Mumti', Ibnu Utsaimin, 1/15]